Baik kawan, saya ingin bercerita
tentang hari raya saya. Gak apa-apa dong sesekali(atau seringkali?) blog saya diisi dengan cerita pribadi saya yang entah ada ibrahya atau tidak
hehe. Karena teman saya pun ada yang punya blog dan blognya itu buat dia menulis tentang kesehariannya.
Katanya sih biar saat tua nanti bisa teringat kenangan masa muda. Yaaah, meskipun
saya juga gak tahu blog dia sebenarnya haha.
Oke,
kembali ke cerita tentang Idul Fitri
saya. Hari raya yang hebat dari umat yang hebat dari agama yang paling hebat—Islam.
Nah, biar saya mulai cerita saya ini dari pagi hari sesudah shalat Shubuh.
Pagi hari sebelum berangkat
shalat Ied, di meja sudah tersedia teh hangat dan makanan khas lebaran di
Indonesia—sambal goreng dan opor. Semoga di luar sana, khususnya semua umat
Islam di dekat rumah saya bergembira di
pagi hari itu dan tidak ada yang mengalami kekurangan makanan. Untuk muslim
yang di medan jihad, maaf, dengan sedih dan iri saya hanya baru bisa
menyampaikan doa. Sebenarnya pengen sih mengirimkan opor Mamak saya yang super
nikmat itu buat mujahidin yang di medan jihad dan ribath :(
Oke, selanjutnya berangkat ke
masjid. Wah, seger sekali berangkat ke masjid pagi-pagi udah mandi. Maklum,
biasanya—atau selalu—kalau ke masjid buat shubuhan cuma wudhu doang kecuali ada
sesuatu yang mengharuskan mandi. Yaah, kalian tahulaaaaah hahaha. Ada yang lucu
ternyata di masjid saya. Takmir berkata dengan pengeras suara,”Kepada jama’ah
x(menyebut kampung saya), shalat Ied akan dilaksanakan pada pukul enam lebih
lima belas. Bapak-bapak dan ibu-ibu mohon lekas ke masjid dan blablabala.”
Lucunya adalah, saya sampai di masjid pada saat jarum jam yang panjang mencapai
angka 2 dan jama’ah baru segelintir. Masak iya shalat mau dimulai lima menit
lagi? Saya pikir, memajukan waktu janjian ternyata juga berlaku buat shalat Ied
kalau di Indonesia karena orang kita terkenal ngaret hahaha.