Senin, 04 Mei 2015

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,


                Sudah sebulan lebih saya tidak menulis sesuatu selain sajak. Maaf, rasanya sedang mencapai titik jenuh untuk mengelola blog ini. ya, bahkan sudah ada pikiran untuk rehat setidaknya satu tahun. Namun, rencana ini beruntung ‘digagalkan’ oleh pengalaman kemarin: Tiktok Gunung Guntur. Here the story…

Pendakian ini, boleh dibilang adalah pendakian pertama saya dalam 4 bulan terakhir. Terhitung sejak perjumpaan saya dengan Matahari Pagi di Puncak Rinjani. Dan bahkan keputusan saya ikut adalah H-1, tanpa persiapan sebetulnya (jangan ditiru) serta sekedar pelarian dari TA (maaf ya Pak Dosbing hahaha). Dan Gunung Guntur ini memberikan saya pelajaran berharga.

                Cerita bermula dengan berkumpulnya 8 Swasta (Mahasiswa Tingkat Akhir) Teknik Mesin ITB berdasarkan janji yang dituliskan di Grup Line Laskar Pendaki HMM: Candra (Laptop), Tian, Nain, Madun, Ali, Jeki, dan Robi. Keren sekali, delapan lelaki yang bertekad untuk mendaki. Dan ada 2 orang (yang ngakunya) baru mendaki sekali ini: Tian dan Candra. Setelah saling tunggu dan ribet debat apakah pakai jeans atau training, maka berangkatlah kami. 8 orang pria di dalam satu mobil Honda CR-V milik Tian. Formasi 2-4-2, dan entah bagaimana safety factornya hahaha.


Berangkat


Di dalam mobil Tian

                Perjalanan Bandung-Garut ditempuh dari pukul 21.00-22.30 WIB. Sepanjang perjalanan hujan, dan cerita-cerita khas lelaki usia 20 tahunan berterbangan di dalam kabin mobil; mulai urusan cewek, dosen, TA, cewek, ‘ehem’, TA lagi, dan boker (serius, ini yang mendominasi). Mulai cerita tentang ada yang boker ketika tidak bisa membedakan kentut dengan alarm waktu nonton tv, hingga panggilan alam yang tak tertahankan ketika sebagian WC di ITB tutup akibat tanggal merah. Ya, anak mesin emang pintar merangkai cerita jorok hahaha.

                Kami pun sampai di penghabisan jalan raya dan menepikan mobil di depan sebuah pom bensin, Madun ingin makan katanya. Akhirnya hanya saya, Robi, dan Madun yang makan. Yang lain mengaku sudah makan, dan ini akan menjadi masalah nantinya buat nain. Selesai makan, datanglah bapak-bapak yang sambil gosok-gosok akik mengaku keamanan di situ dan meminta uang parkir 40 ribu. Buset, untung ada Nain yang ‘medhok’ Bahasa Sundanya dan mampu nego secara fantastis: jadi goceng doang hahaha.

Mendaki

                Kami pun sampai di Pos Pendaftaran pada pukul 00.00 WIB. Dengan hujan yang semakin reda, kami pun optimis dapat memulai pendakian ini secara ceria. Akhirnya diputuskan untuk tidur hingga pukul 01.30 WIB. Dan tidur nyenyak di dalam masjid pun dimulai.


Tidur duluuu
               Kemudian, saat bangun titik-titik air pun jatuh dari langit dengan cukup deras. Lalu saya pun teringat suatu pepatah:

“Ada beberapa air jatuh yang tidak seharusnya kau abaikan arti di baliknya: air yang jatuh dari langit, air yang jatuh dari mata, dan air yang jatuh dari atap.”

Well, abaikan haha. Yah, intinya karena hujan tersebut semangat kami pun mengendur. Bahkan terpikir untuk lanjut tidur dan foto-foto perjalanan cukup crop saja dari foto-foto yang ada di google. Untunglah, semangat itu kembali dan kami pun mulai bersiap-siap untuk pendakian.

                Pendakian dimuali pukul 02.15 WIB. Jalan diawali dengan jalanan berbatu yang merupakan jalur truk penambangan pasir dan batu. Kami sebenarnya dibekali peta oleh pengelola, namun karena beliau menjelaskan dengan Bahasa Sunda sedangkan yang diberi penjelasan sambil melihat peta hanya saya dan madun, terjadilah kebodohan ini. kami, mengandalkan insting saja dalam mencari jalan. Di tengah perjalanan, Madun sempat ragu dan bertanya ke saya (yang juga sotoy), dan akhirnya kami pun masuk ke Hutan. Intinya, ada 2 jalur. 1 lewat hutan dan satunya lewat jalan penambangan. Kami diberi tahu untuk tidak masuk jalur hutan karena rawan longsor, eh malah masuk karena dikira disuruh masuk hutan -_________________-

                Jalur sendiri saya rasakan di awal-awal mirip dengan gunung-gunung lain di Jawa Barat. Basah, rimbun, dan lembek tanahnya. Apalagi kami berjalan di tengah hujan. Beberapa kali kami mesti berhenti, untuk memastikan kebenaran jalur. Madun, satu-satunya anggota tim yang pernah ke sini sebelumnya, tetap diam saja. tapi saya tahu, dia tidak tahu jalur ini haha. Untunglah, setelah beberapa saat kami bertemu sungai dan warung, dan Madun sudah tahu jalurnya dari sini.

                Setelah itu jalur berupa batuan yang relative tegak, dan kelincahan sangat dibutuhkan di sini. Apalagi hujan membuatnya semakin licin. Setelah beberapa saat, sampailah kami di Pos Volunteer. Di sana tertulis “Bagi yang akan mendirikan camp, silahkan melapor”. Kami, yang tiktok, lewat aja udah hahaha. Namun, belum jauh dari situ, si Nain terduduk. Sebelumnya dia sudah berhenti-berhenti sih, bahkan sempat pamit mau muntah (yaelah…). Masuk angin. Dan saat terduduk itulah, ada sekira 20an menit kami istirahat. Saya, yang egois tak terlalu ambil pusing. Dengan bersandar pada tas daypack si Candra (saya naik kemarin tidak bawa tas, cuma seplastik baju ganti yang saya titipkan di dayack Madun), menarik ponco hingga menutupi muka, tertidurlah saya.  Saya pikir, jika bantuan saya dibutuhkan saya juga akan dipanggil. Ini suatu pemikiran yang logis dan pragmatis bukan? Namun, orang-orang lebih suka menyebutnya egois :9

                “Rasanya gimana In?” tanya Madun. “Muter-muter”, jawabnya. Oleh karenanya diputuskan bahwa Nain tak bisa meneruskan pendakian jika begini, dan bersama Robi diantar ke Pos Volunteer untuk makan dan istirahat. Jempol dah emang buat Robi, sang pendaki sejati! Kami, melanjutkan pendakian.

                Beberapa saat kemudian, sampailah kami di trek yang berkerikil. Mirip-mirip dengan trek ke Puncak Rinjani (dan Semeru, katanya), namun ini masih ada rumputnya dan lebih luas. Tapi, mungkin karena hujan dan gradiennya yang besar, betis berasa mau pecah (meminjam kata-kata Tian). Buset dah emang, waktu pendakian yang diperkirakan 3 jam, molor menjadi 4,8 jam. Kami bahkan harus sholat shubuh di lereng, dan sujud sebisanya.

Puncak

                Puncak 1 dicapai ketika jam tangan menunjukkan sekitar pukul 07.00 WIB. Jeki menjadi anggota tim pertama yang menginjak puncak 1, disusul saya 3 menit kemudian, Ali dan Tian 15 menit kemudian, dan Madun serta Candra 30 menit kemudian. Badan pun basah oleh keringat dan air hujan. Semalaman mendaki gunung dalam hujan, suatu pengalaman yang membahagiakan dan tak terlupakan.










                Setelah masak-masak (gobs, gak ada yang bawa piring. Indomie saya pun ketinggalan di warung), ganti baju, foto-foto, kami pun melanjutkan ke puncak 2 dan 3. Nah, tepat saat kami akan berfoto dengan papan penunjuk puncak (antri sob buat bisa dapet plangnya), Nain dan Robi datang seperti orang gila. Buseeeet, ngebut si Nain abis makan. Ceria sekali mukanya, berbeda dengan Robi yang kusut masai hahaha. Yah, orang-orang pun berfoto. Sambil membawa tulisan buat “eneng” masing-masing. Saya? Malah memotret pohon unyu ini:



                 Lalu yang ini dari Gopro keren:




 
Turun

                Bagian terberat (buat saya) pun tiba: TURUN. Pukul 10.00 WIB kami mulai turun. Saya pun meminjam tracking pole si Nain dan izin untuk turun duluan,”Udeh, percaya dah. Lu pade bakalan nyusul gue”, kata saya. Semua pun memaklumi fobia saya akan ketinggian, apalagi mengingat kecuraman gunung ini. Namun untungnya kabut turun, dan pemandangan jelek tentang ketinggian pun tak nampak. Saya pun bisa turun dengan ceria. Bahkan, cerita turun kami bagaikan film “5 cm”, karena ada batu sebesar kepalan tangan yang menggelinding. Satu bahkan melewati sisi badan Jeki, tipis sekali! Saya, Jeki, dan Tian yang turun duluan harus sangat berhati-hati.

                Tak berapa lama, sampailah kami di bagian jalan yang kerikilnya dalam. Pada jalan inilah kami seperti main ski, apalagi dengan tracking pole di tangan. Ceria sekali pokoknya hahaha. Di tambah kabut, saya pun ngebut! Singkat cerita, sampailah kami di bawah. Namun kali ini kami tidak melewati jalur hutan. Kami lewat jalur penambangan. Pukul 14.00 WIB kami sampai di Pos Pendaftaran. Beuh man, capek sekali.

“Inilah tiktok gunung terberat saya.”
-HIW, 21 tahun-

Pulang

                Selepas ashar, kami pun pulang. Karena di Nagrek macet dan Tian mengantuk, Madun lah yang nyetir sampai kampus. Jam 19.00 WIB kami sampai lagi di kampus tercinta: Institut Teknologi Bandung. Tanpa kurang suatu apapun. Paling sedikit luka lecet di sana sini hehehe. Beuh, emang man, gokil ini Gunung Guntur. 2249 mdpl tingginya, tapi betis hampir pecah. Kalo kata anak muda jaman sekarang, PECAAAAAAAH!!!!!




0 komentar:

Posting Komentar